"Pernikahan adalah pasar..."
[Parasit Jalang - Ayu Utami]
Pernah beberapa hari sebelum saya menyelesaikan liburan di Makassar setahun yang lalu, saya nyempetin diri ke toko buku. Seperti apa yang selalu saya lakuin, saya nggak pernah berniat buat nyari buku tertentu. Kadang di toko buku baru inget buku apa yang lagi rame dibicarain orang, atau inget referensi dari temen. Jadi seperti hari-hari hunting buku lainnya, saya nggak mempersiapkan biaya khusus. “Just wear your dirty sneaker and a self-statement
t-shirt”, saya ngomong sama diri sendiri as always.
Ada buku. Sampulnya unik banget. Warna biru, biru muda yang bagus banget menurut saya. Kalau nggak salah karangannya Ayu Utami. Nah, yang kerennya waktu itu, bukan judulnya yang bikin saya ngernyit sekaligus senyum. Senyum nyinyir, seperti mewakili perasaan kalau kalimat yang saya baca di sampul belakang buku itu (synopsis), udah pernah saya dengar sebelumnya. Sudah tau siapa-siapa saja yang bener-bener ngelakuin kalimat itu.. atau cuma terjebak situasi ?
“pernikahan adalah pasar…”
Malamnya saya nongkrong plus ngobrol sama seorang temen. Tadinya ngobrolin hal-hal yang biasa aja. Terus, dia ngebahas tentang sebuah zine yang waktu itu belum saya punya, yang mengupas tentang hak perempuan dalam memiliki anak. Temen saya ini bilang, perempuan tidak perlu melahirkan untuk memiliki seorang anak. Banyak anak jalanan yang bisa diangkat jadi anak. True. Jadi, intinya buat temen saya ini, melahirkan itu gak perlu. Buang-buang duit aja katanya, “sampai 9 bulan lagi!”. Saya setuju. Tapi bagaimana kalau saya emang pengen buang duit dengan ngebiarin embrio tumbuh besar di rahim saya dan membuat sebagian besar bagian tubuh saya membesar ? Bagaimana kalau saya emang pengen buang duit karena pengen ngerasain sensasi rasa sakit ketika makhluk hidup kecil yang bernapas keluar perlahan dari vagina saya ? Detik demi detik… Bagaimana, teman ?
Kamu tidak mau tahu, saya tahu. Kamu terus saja membantah celetukan-celetukan spontan yang goblok dari saya. “Melahirkan itu Cuma budaya”, katamu. “Terus kenapa kalau ternyata saya masih suka sama budaya yang satu itu ?”. “Hahaha..”. “ Saya masih suka, persetan sama pendapat orang lain!”.
Nggak tau kenapa tiba-tiba obrolannya udah mengenai pernikahan. “Sama seperti melahirkan, pernikahan juga adalah budaya!”. Oke, sekarang giliran saya yang tertawa, haha. Anak ini! “Saya cuma mau pacaran sama satu cewek, tapi untuk seumur hidup”. “Kenapa ?”, saya sok nanya alasan. “Karena tidak saling mengikat, larang-larangan”. Saya Cuma bisa ngerespon dengan kata “oh…”. “Menurut kamu ?”, tanya kamu lagi. “Terserah”, jawab saya singkat. Saya memang manusia ‘terserah’ untuk urusan yang saya anggap biasa saja. Kalau menurut kamu saya sudah tidak asik lagi seperti dulu, have it your way. Saya tahu kamu ingin kepuasan malam itu, maka kubiarkan kau menang. Merasa menang. Apapun untuk mengakhiri obrolan itu dan melanjutkan menikmati jalan raya didepanku yang punya banyak kenangan di masa kecil itu. Tapi harus kuakui, malam itu saya pulang dengan satu pertanyaan kecil di kepala, teman. Gaya hidup teman yang mana yang sedang kamu contek, teman ?
All I’m saying is, jangan karena kita mengklaim diri memilih hidup dalam budaya perlawanan, semua hal yang katanya ‘stereotype’, kita lawan juga. Kalau bener-bener ngikutin kata hati, ok. Tapi kalau karena ikut-ikutan ? Terus kamu bilang orang-orang sekarang hampir semuanya krisis identitas ? Nggak apa-apa sih berbudaya melawan. Tapi kalau semua hal disapu rata untuk dilawan, akhirnya dalam hal-hal tertentu kita bakal nemuin diri kita melawan kata hati.
Lihat saja. Beberapa orang sudah tumbang. Dan ketika mereka akhirnya tiba di titik jenuh, yang biasanya ditamengi dengan kalimat “kompromi”, di titik inilah mereka biasanya merasa menang. Menang atas diri sendiri. Dan harus diakui, sadar atau tidak sadar, it feels hella good!
Tentang buku bersampul unik warna biru muda tadi, saya lupa judulnya sampai saya menemukannya berjejer rapi diantara koleksi buku adik saya ketika saya pulang liburan lagi 6 bulan setelahnya. Parasit Jalang. Karena malas membacanya atau takut terdoktrin atau mungkin lebih tepatnya takut kalau-kalau ide didalam diri berakar makin kuat, saya langsung saja ke bagian sinopsisnya, lagi. “Pernikahan adalah pasar…”. Hm, cukup synopsis aja ternyata.
Ada buku. Sampulnya unik banget. Warna biru, biru muda yang bagus banget menurut saya. Kalau nggak salah karangannya Ayu Utami. Nah, yang kerennya waktu itu, bukan judulnya yang bikin saya ngernyit sekaligus senyum. Senyum nyinyir, seperti mewakili perasaan kalau kalimat yang saya baca di sampul belakang buku itu (synopsis), udah pernah saya dengar sebelumnya. Sudah tau siapa-siapa saja yang bener-bener ngelakuin kalimat itu.. atau cuma terjebak situasi ?
“pernikahan adalah pasar…”
Malamnya saya nongkrong plus ngobrol sama seorang temen. Tadinya ngobrolin hal-hal yang biasa aja. Terus, dia ngebahas tentang sebuah zine yang waktu itu belum saya punya, yang mengupas tentang hak perempuan dalam memiliki anak. Temen saya ini bilang, perempuan tidak perlu melahirkan untuk memiliki seorang anak. Banyak anak jalanan yang bisa diangkat jadi anak. True. Jadi, intinya buat temen saya ini, melahirkan itu gak perlu. Buang-buang duit aja katanya, “sampai 9 bulan lagi!”. Saya setuju. Tapi bagaimana kalau saya emang pengen buang duit dengan ngebiarin embrio tumbuh besar di rahim saya dan membuat sebagian besar bagian tubuh saya membesar ? Bagaimana kalau saya emang pengen buang duit karena pengen ngerasain sensasi rasa sakit ketika makhluk hidup kecil yang bernapas keluar perlahan dari vagina saya ? Detik demi detik… Bagaimana, teman ?
Kamu tidak mau tahu, saya tahu. Kamu terus saja membantah celetukan-celetukan spontan yang goblok dari saya. “Melahirkan itu Cuma budaya”, katamu. “Terus kenapa kalau ternyata saya masih suka sama budaya yang satu itu ?”. “Hahaha..”. “ Saya masih suka, persetan sama pendapat orang lain!”.
Nggak tau kenapa tiba-tiba obrolannya udah mengenai pernikahan. “Sama seperti melahirkan, pernikahan juga adalah budaya!”. Oke, sekarang giliran saya yang tertawa, haha. Anak ini! “Saya cuma mau pacaran sama satu cewek, tapi untuk seumur hidup”. “Kenapa ?”, saya sok nanya alasan. “Karena tidak saling mengikat, larang-larangan”. Saya Cuma bisa ngerespon dengan kata “oh…”. “Menurut kamu ?”, tanya kamu lagi. “Terserah”, jawab saya singkat. Saya memang manusia ‘terserah’ untuk urusan yang saya anggap biasa saja. Kalau menurut kamu saya sudah tidak asik lagi seperti dulu, have it your way. Saya tahu kamu ingin kepuasan malam itu, maka kubiarkan kau menang. Merasa menang. Apapun untuk mengakhiri obrolan itu dan melanjutkan menikmati jalan raya didepanku yang punya banyak kenangan di masa kecil itu. Tapi harus kuakui, malam itu saya pulang dengan satu pertanyaan kecil di kepala, teman. Gaya hidup teman yang mana yang sedang kamu contek, teman ?
All I’m saying is, jangan karena kita mengklaim diri memilih hidup dalam budaya perlawanan, semua hal yang katanya ‘stereotype’, kita lawan juga. Kalau bener-bener ngikutin kata hati, ok. Tapi kalau karena ikut-ikutan ? Terus kamu bilang orang-orang sekarang hampir semuanya krisis identitas ? Nggak apa-apa sih berbudaya melawan. Tapi kalau semua hal disapu rata untuk dilawan, akhirnya dalam hal-hal tertentu kita bakal nemuin diri kita melawan kata hati.
Lihat saja. Beberapa orang sudah tumbang. Dan ketika mereka akhirnya tiba di titik jenuh, yang biasanya ditamengi dengan kalimat “kompromi”, di titik inilah mereka biasanya merasa menang. Menang atas diri sendiri. Dan harus diakui, sadar atau tidak sadar, it feels hella good!
Tentang buku bersampul unik warna biru muda tadi, saya lupa judulnya sampai saya menemukannya berjejer rapi diantara koleksi buku adik saya ketika saya pulang liburan lagi 6 bulan setelahnya. Parasit Jalang. Karena malas membacanya atau takut terdoktrin atau mungkin lebih tepatnya takut kalau-kalau ide didalam diri berakar makin kuat, saya langsung saja ke bagian sinopsisnya, lagi. “Pernikahan adalah pasar…”. Hm, cukup synopsis aja ternyata.
I’d like to be a good mom, but am I ready to be a good wife ? Yang saya tahu, mulai saat ini saya harus mulai hati-hati ngobrol sama adik saya. She’s not the same Barbie doll that I used to play with as the object of my rebellious actions anymore. I sure do wanna be a good sister. In my own defenition of course.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home