I need to feel alive.
I wanna feel like I can pull down the sun and put in on my hand.
Akhirnya aku bisa membuat keputusan penting tentang perkuliahanku sendiri. Tapi sayangnya, kemampuanku mengambil alih hidupku yang selama ini aku rasa telah kujual dengan harga yang terlalu murah kepada setan, tidak mendapat respon yang baik dari orangtuaku.
Kartu merahpun diacungkan padaku. Tidak ada lagi sokongan apa-apa. Dan sekarang sudah berlangsung 3 bulan lebih. Tapi untunglah hubungan kekeluargaan diantara kami masih terjalin baik. Karena sampai sekarang mereka masih sering menelpon sekedar bertanya 'lagi dimana', 'sedang apa', 'sudah makan apa belum'. Telepon pendek yang tidak pernah lebih dari semenit dengan pertanyaan standar. Aku senang karena ini cuma jadi masalah finansial saja, dipihakku.
Sejak tragedi air mata terakhir, aku jadi ekstra hati-hati dengan perasaan mamaku. Aku tidak mau dia merasa terluka lagi karena aku. Awalnya, dia tidak pernah mau berbicara padaku. Selalu saja papa. Padahal dalam sejarah buku hitam keluargaku, hubunganku dan papaku boleh dibilang sangat rumit. Tapi sebulan belakangan ini, mama lagi-lagi jadi kekuatan terbesarku. Untunglah, orangtuaku yang sekarang tidak seperti tahun-tahun semasa aku tumbuh menjadi remaja. Mereka tahu kalau selamanya aku adalah seorang anak kecil yang selalu punya rasa penasaran yang besar tentang apa saja.
Aku perlu menjawab penasaranku sendiri, menjawab semua pertanyaan yang menghantu-hantui aku. Aku perlu "keluar", berdiri di kaki sendiri dan kenal betul apa itu hidup dengan semua paku-paku tajam didalamnya.
I have to always find a reason to kick and scream. I don't wanna be dead inside. I don't wanna fade away. I don't wanna grow up because I know it hurts to grow up. I need to feel alive.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home