Thursday, November 24
Tuesday, November 22
Mencintai atau dicintai ?
Dicintai.
Tapi ternyata, dicintai sepenuh hati terus menerus oleh lelaki yang sudah menganggapku seperti Tuhan dan agamanyapun membuatku jenuh.
Aku lelah dicintai tanpa henti.
Aku juga ingin merasa mencinta. Ingin mencintai dengan segenap jiwa dan dengan seluruh kekurangan-kelebihanku yang tidak seberapa ini.
Dicintai.
Tapi ternyata, dicintai sepenuh hati terus menerus oleh lelaki yang sudah menganggapku seperti Tuhan dan agamanyapun membuatku jenuh.
Aku lelah dicintai tanpa henti.
Aku juga ingin merasa mencinta. Ingin mencintai dengan segenap jiwa dan dengan seluruh kekurangan-kelebihanku yang tidak seberapa ini.
Monday, November 21
Chemistry [part I]
diam,
dengan rokok apapun di tangan
sesekali aku hisap
sebab aku tak tahu apa yang harus diobrolkan
denganmu, si empunya tatapan bereuforia tinggi
alis bergerak naik turun,
dengan kamu yang aku rasa kadang menatapku lekat
dan menatap apa saja seperti itu, ..lekat
apakah kamu lelaki itu,
yang lahir diantara gugusan bintang,
yang selama ini selalu hadir dalam khayal saja ?
diam,
dengan rokok apapun di tangan
sesekali aku hisap
sebab aku tak tahu apa yang harus diobrolkan
denganmu, si empunya tatapan bereuforia tinggi
alis bergerak naik turun,
dengan kamu yang aku rasa kadang menatapku lekat
dan menatap apa saja seperti itu, ..lekat
apakah kamu lelaki itu,
yang lahir diantara gugusan bintang,
yang selama ini selalu hadir dalam khayal saja ?
Sunday, November 20
Friday, November 18
So why don't we go somewhere only we know ?
Pernahkah aku bercerita tentang kebiasaan lamaku yang kata beberapa orang cukup aneh ? Aku (dulu) setiap kali membaca koran, pasti langsung ke kolom kematian. Aku membaca dengan seksama detail tentang orang yang masa hidupnya di dunia sudah kadaluarsa. Aku menyukai perasaan sedih. Bahkan waktu itu, aku adiksi pada kesedihan.
Kolom kematian tidak semenarik dulu lagi. Tapi berita kematian seorang teman hari ini, memukul aku tepat diantara paru-paru. Mulut kaku, kepala sebelah kiri migrain, mata tiba-tiba berair, dan tanpa sadar tetesan-tetesan air mataku sudah sampai ke kerah baju.
Orang-orang yang tadinya sering melucu sekarang terlihat seperti pelawak lanjut usia yang sudah kehilangan kemampuannya menghibur.
Bangsat ! Lirik "so why don't we go somewhere only we know", terdengar seperti soundtrack kondisi badanku sekarang yang ingin berada di Makassar. Juga soundtrack akhir sebuah cerita ?
Aan, teman yang tidak terlalu akrab tidak juga terlalu jauh, sudah sampai ke titik dimana semua titik dalam hidup akan berakhir. Aku cuman bisa berharap dari seberang pulau disini, kamu pergi ke tempat seperti apa yang kamu bayangkan selama ini. Pulau kecil dimana musik reggae selalu menggema dan ada ganja dimana-mana. Amin.
Aku rasa sekarang berkurang satu orang lagi yang menungguku pulang bersama janji mabokan.
So why don't we go somewhere only we know...
Rasanya tadi malam kepalaku dipenuhi banyak sekali kalimat yang ingin segera kulampiaskan ke blogku ini. Tapi sekarang aku cuma ingin bilang.. segala sesuatu yang diawali dengan kebohongan, akan berakhir dengan kebohongan pula. Pahit, dan rasanya akan lebih lama membekas.
Semua kutu disekitarku akan segera kuinjak supaya rata dengan tanah. Mereka mau coba-coba merusak konsentrasiku. Konspirasi murahan untuk membajak hidupku. Aku disini untuk menendang, jadi jangan berniat untuk mengadakan kudeta busuk untuk menyusup kedalam rencana lamaku untuk menggenggam dunia.
Sunday, November 13
Not attention, just Respect.
Kemarin malam ada 2 orang datang padaku dan bilang mereka baru saja memimpikanku. Yang pertama datang secara langsung padaku, seorang kenalan perempuan. Mengenai detail mimpi, aku nggak begitu memperhatikan. Yang kedua, datang secara tidak langsung, mama. Pagi-pagi buta papa menelfon hanya untuk bertanya keberadaanku dan dengan cepat telfonnya langsung diberikan ke mama. Mama nggak bisa tidur, katanya kepikiran aku. Aku tahu dia baru saja bermimpi tentang sesuatu. Pastinya berhubungan denganku. "Telfon pagi buta" hanya terjadi jika salah satu dari mereka memimpikanku. Tidak begitu sering memang. Masih bisa dihitung dengan jari. But when it happens, it makes me shiver.
Hanya mimpi-mimpi tertentu dengan situasi tertentu yang kadang bisa bikin aku percaya dengan makna mimpi. Mungkin besok aku mati.
Dan hari ini aku memang mati. Seharian moodku membuatku tidak berbincang-bincang dengan orang sekitarku. Aku sangat tidak bersemangat untuk apa-apa hari ini. Bahkan urat-urat diseluruh wajahku sedari pagi tadi rasanya terus-terusan mendorong-dorong kulit wajahku kebawah, kearah sekitar bibir. Alah! Memang tangis bisa bawa apa sih ?
Bisa bawa kelegaan, kata suara di kepalaku. Tahan dulu, meski dada rasanya seperti hanger yang sedang digantungi pakaian dengan berat 100 kilo.
Kesal kesal dan kesal..
Aku tadinya bukan orang yang suka berbagi. Aku menghabiskan malamku sendirian dengan berpiknik dalam mimpi. Lalu datanglah seorang teman yang sudah kuanggap teman baik menawarkan aku untuk berbagi. Kenapa tidak ? Toh kalaupun aku akhirnya harus berbagi, kenapa tidak dengan seorang teman baik ?
Ada semacam perjanjian tidak tertulis diantara kami. Tapi seperti lukisan pastel yang sengaja ditumpahi air, semuanya menjadi abstrak. Yang tersisa hanya sketsa awal yang samar-samar juga mulai tidak kelihatan garisnya.
I'm a straigt-to the point-kinda person. Tapi begitu mengenai teman baik, aku jadi kehilangan kemampuan berbicaraku. Apalagi ada sangkut pautnya dengan asmara. Hah, bercerita begini saja sepertinya sudah membuat berat pakain yang tadi 100 kilo sekarang menjadi 110 kilo.
Aku tidak ingin terlihat childish dengan mempermasalahkan hal yang sepele pada awalnya. Tapi aku semakin tidak tahan, apalagi dengan orang-orang sekitar yang sering memuji kesabaranku. Disinilah aku mulai sadar, masalahnya bukan di aku. Everybody can see it.
Pernah, kira-kira 2 minggu yang lalu aku mengutarakan isi hatiku. Pelan-pelan dengan kalimat yang baik dan nada yang tidak terlihat seperti orang yang keberatan. Itupun sudah kubumbui dengan kebohongan dengan harapan si teman baik ini akan menahanku. Yang kuharapkan tidak terjadi sama sekali. Aku kecewa berat.
Dan sekarang, 2 minggu kemudian, inisiatif yang aku tunggu tidak kunjung datang. Tidak ada yang datang padaku bertanya apa aku keberatan atau tidak dengan semua yang sudah terjadi. Bahkan, apa-apa saja yang terjadi sekarang ini tidak butuh persetujuanku. Kasarnya, aku dianggap tidak ada.
Teman baik susah ngedapetinnya. Daripada kehilangan, mending aku yang ngalah saja. Biar saja waktu bertik-tok terus. Aku mau tinggal dibelakang dan mengamati saja.
Teman, aku harap kamu tahu ada goresan kecil di hatiku karena kamu. Terima kasih.
Friday, November 11
Spontanity rules !
Bangun dengan keadaan tubuh seakan hangover dan mencuci muka sekenanya lalu memacu motor yang jarum penunjuk kuantitas bensinnya udah sampai ke areal merah. Kedua tangan seperti tidak menggenggam kuat pada pegangan motor dengan mata yang sesekali mengerjap-ngerjap berusaha menahan kantuk dan rasa pegel sekujur badan. Seperti sedang berjalan diantara binatang-binatang yang merayap. Angin yang menampar pipi dengan setengah kekuatannya saja sudah membuatku merasa terbang. Perasaan buru-buru mengejar batas waktu terlambat kerja. Keseluruhan perasaan yang kualami di tubuh, kepala, dan hati sore itu secara garis besar ? Keren.
Tidak seperti biasanya, aku asal saja memilih lagu untuk opening. Ash dengan Kungfunya yang berintro 25 detik langsung saja kuletakkan dideretan kedua setelah bumper opening-closing. Suara ricuh di awal lagu bisa aku pakai untuk awal program yang aku host sebelum aku mulai bekoar-koar. Dari awal sampai akhir acara aku sangat semangat dan membawakan acara itu dengan sangat baik. Tapi kenapa perasaan telah menjalankan pekerjaan dengan sangat baik datangnya hanya tiap kali aku berperang dengan waktu ? Tipikal orang dengan tipe : tiba masa tiba akal. Tapi emang sih, menyelesaikan pekerjaan yang awalnya dimulai dengan jantung yang berdebar nggak karuan pasti berakhir dengan rasa puas yang sangat.
Monday, November 7
Beautiful morning.
Hal terbaik dari beberapa hari hidup dalam perasaan tegang dan khawatir adalah melarikan diri ke salah satu tempat yang sudah kuanggap seperti surga sampai saat ini. Mulanya hanya rencana. Dan aku pikir, seperti rencana-rencana lainnya, maka yang satu ini juga bisa saja tidak luput dari kegagalan. Lebih lagi karena syaraf-syarafku bisa dengan gampang disulut 'api' belakangan ini.
Tapi justru mereka semakin mendesak untuk diredam.
Malam sebelum hari raya lebaran kuhabiskan dengan bersenang-senang dengan beberapa teman baru. Takbiran di lantai dansa kata mereka, haha.
Di 2 club yang pemandangannya bisa membuat mules isi perut kaum adam biasanya, yang letaknya berseberangan itu, aku menghentakkan kedua kakiku bergantian atau menyeretnya bergantian ke kiri dan kekanan. Tergantung musik. Atau kugerakkan saja kepalaku seenaknya sambil menggoyang-goyangkan bahu. Sekali lagi tergantung musik.
Dari club yang pertama ke club yang ke dua. Aku berdansa sendirian dan semakin menggila. Kadang aku di tengah, di pinggir, di depan DJ, disela-sela orang yang bermesraan, dan aku sendirian... Untung saja moodku sedang bagus, jadi kututup saja mataku. Kubiarkan musik yang iramanya semakin terasa di dada itu menyatu dengan tubuhku. Kubiarkan mereka membawaku kemana. Dan kalau sudah begini, aku paling tidak senang kalau aku membuka mata, tiba-tiba saja ada orang yang belagak menjadi partner dansaku. Biasanya tidak kuacuhkan dengan membalikkan tubuh atau pindah posisi.
Pantas saja. Malam itu aku terlihat sangat ramah. Hampir lupa, ternyata sebelum berangkat, aku menenggak 4 sedotan mushroom. Candu murahan + musik gratis, betapa indahnya. Dan ketika efeknya mulai tidak terasa, aku memesan sebotol bir.
DJnya lalu memberitahu salah seorang temanku, musiknya akan segera berakhir. Sebelum berhenti dalam keadaan menggantung, sebaiknya berhenti disaat perasaan senang sudah sampai ke ubun-ubun. Kami keluar, yang lainpun keluar. The party is over.
Kami lalu duduk-duduk di singgasana paling tinggi dari area peristirahatan yang disediakan club itu. Aku melihat kebawah dan mendapati beberapa orang sedang ngobrol dengan bahasa asing yang cukup familiar ditelingaku. "Wie geht est ihnen ?". I was still on a high. "Danke, gut". Selanjutnya obrolan basa-basi yang aku rasa perlu aku lakukan sebelum perasaan melayangnya hilang. Ngobrol dengan teman-teman hanya akan membuatku terlihat seperti pelawak saat itu. Saat 'seperti' itu.
Jam 4 lewat beberapa belas menit. Kami belum merasa ini waktunya tidur, meski satu-dua diantara kami ada yang sudah menguap. Lalu, selayaknya sedang pawai menyambut hari raya lebaran, kami memacu motor kami sombong melewati jalan-jalan. Tujuannya adalah, Circle-K Hard Rock. Ada 2 kelompok yang sudah terlebih dahulu nongkrong disana saat kami datang. Kami memilih kursi kayu panjang, karena akan lebih mudah untuk kami saling menghibur. Aku dan kelompokku tertawa seperti hanya ada suara kami yang memenuhi tempat itu. 2 kelompok yang lain tidak usahlah diceritakan. Intinya, yang kulakukan hanya mensarkasi mereka.
Jam 5 pagi. Target sudah terpenuhi, kamipun pulang. Di kost, disela-sela obrolan kecil antar kamar, semua orang mengganti baju, mencuci muka, dan mulai bersiap-siap tidur.
Aku terbangun dan melihat kearah jam. Baru saja aku tertidur setengah jam, suara mereka membangunkan aku. Perdebatan kecil tentang jadi tidaknya mereka Sholat Ied. Aku tidak mau tahu, aku kembali menutup mataku.
Lalu aku dibangunkan lagi. Kali ini bukan dengan suara, melainkan dengan guncang-guncangan kecil di punggung. Aku menggumam kecil. Seorang teman mulai mengguncang pipi kiriku. Setengah sadar aku menyimpulkan kalau mereka memutuskan untuk tidak ikut Sholat Ied. Ternyata pestanya belum berakhir benar.
Dreamland...
Dengan mobil tukeran-sewaan, kamipun berangkat. Jam di mobil masih belum menunjukkan angka 7. Aku belum pernah kesana sepagi ini apalagi dalam keadaan setengah sadar.
Pagi yang indah. Aku mengencangkan volume radio dan mendengarkan dua teman kami saling hujat. Tidak sadar aku bertepuk tangan. Kupikir, sebaiknya aku menyapa mereka dengan alibi request lagu. Begitu telfon diangkat, sontak isi mobil semua berteriak girang menyapa dua teman kami itu. Kami malah bernyanyi buat mereka. Hahahaha, kami semua bertepuk tangan.
Pagi yang indah, firasatku benar tentang hal ini. Aku menuruni tangga batu yang cukup tinggi dengan hati yang senang. Aku mencari lokasi terjauh dekat dengan tebing. Lalu diatas pasir putih hangat, diatas selembar kain pantai temanku, aku membaringkan tubuhku. Kupakai kacamata pemberian mama dan earphone walkman yang kubagi dua dengan temanku. Belum ada 10 orang dijam seperti ini. Menyenangkan.
Suara ombak yang konstan di telinga kiri dimixing dengan vokal Norah Jones ditelinga kanan. Rerumputan hijau dan langit biru yang bisa dilihat jelas keduanya jika kepala didongakkan keatas. Ada beberapa awan yang bentuknya menyerupai sesuatu menurutku, yang juga disetujui temanku. Ada yang bentuknya seperti jamur dan ada juga yang seperti anjing pudel sedang berlari dengan menggigit surat di mulutnya.
Lama-kelamaan semua suara jadi menghilang..
Ada lagi yang mengguncang-guncang tubuhku. Sekarang hampir jam 12, kami harus pulang. Pagi yang betul-betul indah. Aku tahu semua orang yang bersamaku saat itu setuju. Mereka membawanya dalam tidur.
Friday, November 4
I need to feel alive.
I wanna feel like I can pull down the sun and put in on my hand.
Akhirnya aku bisa membuat keputusan penting tentang perkuliahanku sendiri. Tapi sayangnya, kemampuanku mengambil alih hidupku yang selama ini aku rasa telah kujual dengan harga yang terlalu murah kepada setan, tidak mendapat respon yang baik dari orangtuaku.
Kartu merahpun diacungkan padaku. Tidak ada lagi sokongan apa-apa. Dan sekarang sudah berlangsung 3 bulan lebih. Tapi untunglah hubungan kekeluargaan diantara kami masih terjalin baik. Karena sampai sekarang mereka masih sering menelpon sekedar bertanya 'lagi dimana', 'sedang apa', 'sudah makan apa belum'. Telepon pendek yang tidak pernah lebih dari semenit dengan pertanyaan standar. Aku senang karena ini cuma jadi masalah finansial saja, dipihakku.
Sejak tragedi air mata terakhir, aku jadi ekstra hati-hati dengan perasaan mamaku. Aku tidak mau dia merasa terluka lagi karena aku. Awalnya, dia tidak pernah mau berbicara padaku. Selalu saja papa. Padahal dalam sejarah buku hitam keluargaku, hubunganku dan papaku boleh dibilang sangat rumit. Tapi sebulan belakangan ini, mama lagi-lagi jadi kekuatan terbesarku. Untunglah, orangtuaku yang sekarang tidak seperti tahun-tahun semasa aku tumbuh menjadi remaja. Mereka tahu kalau selamanya aku adalah seorang anak kecil yang selalu punya rasa penasaran yang besar tentang apa saja.
Aku perlu menjawab penasaranku sendiri, menjawab semua pertanyaan yang menghantu-hantui aku. Aku perlu "keluar", berdiri di kaki sendiri dan kenal betul apa itu hidup dengan semua paku-paku tajam didalamnya.
I have to always find a reason to kick and scream. I don't wanna be dead inside. I don't wanna fade away. I don't wanna grow up because I know it hurts to grow up. I need to feel alive.
Thursday, November 3
Minta maaf atau mencoba menjadi bd ?
Seputih Kokain
Sebening Vodka
Seharum wangi Bunga Ganja
Dengan perasaan melayang menyambut hari raya Lebaran,
Minal Aidin Walfaidzin
Mohon Maaf Lahir dan Batin.
hahaha! goblok! tapi boleh juga..
Seputih Kokain
Sebening Vodka
Seharum wangi Bunga Ganja
Dengan perasaan melayang menyambut hari raya Lebaran,
Minal Aidin Walfaidzin
Mohon Maaf Lahir dan Batin.
hahaha! goblok! tapi boleh juga..
Tuesday, November 1
"Pernikahan adalah pasar..."
[Parasit Jalang - Ayu Utami]
Pernah beberapa hari sebelum saya menyelesaikan liburan di Makassar setahun yang lalu, saya nyempetin diri ke toko buku. Seperti apa yang selalu saya lakuin, saya nggak pernah berniat buat nyari buku tertentu. Kadang di toko buku baru inget buku apa yang lagi rame dibicarain orang, atau inget referensi dari temen. Jadi seperti hari-hari hunting buku lainnya, saya nggak mempersiapkan biaya khusus. “Just wear your dirty sneaker and a self-statement
t-shirt”, saya ngomong sama diri sendiri as always.
Ada buku. Sampulnya unik banget. Warna biru, biru muda yang bagus banget menurut saya. Kalau nggak salah karangannya Ayu Utami. Nah, yang kerennya waktu itu, bukan judulnya yang bikin saya ngernyit sekaligus senyum. Senyum nyinyir, seperti mewakili perasaan kalau kalimat yang saya baca di sampul belakang buku itu (synopsis), udah pernah saya dengar sebelumnya. Sudah tau siapa-siapa saja yang bener-bener ngelakuin kalimat itu.. atau cuma terjebak situasi ?
“pernikahan adalah pasar…”
Malamnya saya nongkrong plus ngobrol sama seorang temen. Tadinya ngobrolin hal-hal yang biasa aja. Terus, dia ngebahas tentang sebuah zine yang waktu itu belum saya punya, yang mengupas tentang hak perempuan dalam memiliki anak. Temen saya ini bilang, perempuan tidak perlu melahirkan untuk memiliki seorang anak. Banyak anak jalanan yang bisa diangkat jadi anak. True. Jadi, intinya buat temen saya ini, melahirkan itu gak perlu. Buang-buang duit aja katanya, “sampai 9 bulan lagi!”. Saya setuju. Tapi bagaimana kalau saya emang pengen buang duit dengan ngebiarin embrio tumbuh besar di rahim saya dan membuat sebagian besar bagian tubuh saya membesar ? Bagaimana kalau saya emang pengen buang duit karena pengen ngerasain sensasi rasa sakit ketika makhluk hidup kecil yang bernapas keluar perlahan dari vagina saya ? Detik demi detik… Bagaimana, teman ?
Kamu tidak mau tahu, saya tahu. Kamu terus saja membantah celetukan-celetukan spontan yang goblok dari saya. “Melahirkan itu Cuma budaya”, katamu. “Terus kenapa kalau ternyata saya masih suka sama budaya yang satu itu ?”. “Hahaha..”. “ Saya masih suka, persetan sama pendapat orang lain!”.
Nggak tau kenapa tiba-tiba obrolannya udah mengenai pernikahan. “Sama seperti melahirkan, pernikahan juga adalah budaya!”. Oke, sekarang giliran saya yang tertawa, haha. Anak ini! “Saya cuma mau pacaran sama satu cewek, tapi untuk seumur hidup”. “Kenapa ?”, saya sok nanya alasan. “Karena tidak saling mengikat, larang-larangan”. Saya Cuma bisa ngerespon dengan kata “oh…”. “Menurut kamu ?”, tanya kamu lagi. “Terserah”, jawab saya singkat. Saya memang manusia ‘terserah’ untuk urusan yang saya anggap biasa saja. Kalau menurut kamu saya sudah tidak asik lagi seperti dulu, have it your way. Saya tahu kamu ingin kepuasan malam itu, maka kubiarkan kau menang. Merasa menang. Apapun untuk mengakhiri obrolan itu dan melanjutkan menikmati jalan raya didepanku yang punya banyak kenangan di masa kecil itu. Tapi harus kuakui, malam itu saya pulang dengan satu pertanyaan kecil di kepala, teman. Gaya hidup teman yang mana yang sedang kamu contek, teman ?
All I’m saying is, jangan karena kita mengklaim diri memilih hidup dalam budaya perlawanan, semua hal yang katanya ‘stereotype’, kita lawan juga. Kalau bener-bener ngikutin kata hati, ok. Tapi kalau karena ikut-ikutan ? Terus kamu bilang orang-orang sekarang hampir semuanya krisis identitas ? Nggak apa-apa sih berbudaya melawan. Tapi kalau semua hal disapu rata untuk dilawan, akhirnya dalam hal-hal tertentu kita bakal nemuin diri kita melawan kata hati.
Lihat saja. Beberapa orang sudah tumbang. Dan ketika mereka akhirnya tiba di titik jenuh, yang biasanya ditamengi dengan kalimat “kompromi”, di titik inilah mereka biasanya merasa menang. Menang atas diri sendiri. Dan harus diakui, sadar atau tidak sadar, it feels hella good!
Tentang buku bersampul unik warna biru muda tadi, saya lupa judulnya sampai saya menemukannya berjejer rapi diantara koleksi buku adik saya ketika saya pulang liburan lagi 6 bulan setelahnya. Parasit Jalang. Karena malas membacanya atau takut terdoktrin atau mungkin lebih tepatnya takut kalau-kalau ide didalam diri berakar makin kuat, saya langsung saja ke bagian sinopsisnya, lagi. “Pernikahan adalah pasar…”. Hm, cukup synopsis aja ternyata.
Ada buku. Sampulnya unik banget. Warna biru, biru muda yang bagus banget menurut saya. Kalau nggak salah karangannya Ayu Utami. Nah, yang kerennya waktu itu, bukan judulnya yang bikin saya ngernyit sekaligus senyum. Senyum nyinyir, seperti mewakili perasaan kalau kalimat yang saya baca di sampul belakang buku itu (synopsis), udah pernah saya dengar sebelumnya. Sudah tau siapa-siapa saja yang bener-bener ngelakuin kalimat itu.. atau cuma terjebak situasi ?
“pernikahan adalah pasar…”
Malamnya saya nongkrong plus ngobrol sama seorang temen. Tadinya ngobrolin hal-hal yang biasa aja. Terus, dia ngebahas tentang sebuah zine yang waktu itu belum saya punya, yang mengupas tentang hak perempuan dalam memiliki anak. Temen saya ini bilang, perempuan tidak perlu melahirkan untuk memiliki seorang anak. Banyak anak jalanan yang bisa diangkat jadi anak. True. Jadi, intinya buat temen saya ini, melahirkan itu gak perlu. Buang-buang duit aja katanya, “sampai 9 bulan lagi!”. Saya setuju. Tapi bagaimana kalau saya emang pengen buang duit dengan ngebiarin embrio tumbuh besar di rahim saya dan membuat sebagian besar bagian tubuh saya membesar ? Bagaimana kalau saya emang pengen buang duit karena pengen ngerasain sensasi rasa sakit ketika makhluk hidup kecil yang bernapas keluar perlahan dari vagina saya ? Detik demi detik… Bagaimana, teman ?
Kamu tidak mau tahu, saya tahu. Kamu terus saja membantah celetukan-celetukan spontan yang goblok dari saya. “Melahirkan itu Cuma budaya”, katamu. “Terus kenapa kalau ternyata saya masih suka sama budaya yang satu itu ?”. “Hahaha..”. “ Saya masih suka, persetan sama pendapat orang lain!”.
Nggak tau kenapa tiba-tiba obrolannya udah mengenai pernikahan. “Sama seperti melahirkan, pernikahan juga adalah budaya!”. Oke, sekarang giliran saya yang tertawa, haha. Anak ini! “Saya cuma mau pacaran sama satu cewek, tapi untuk seumur hidup”. “Kenapa ?”, saya sok nanya alasan. “Karena tidak saling mengikat, larang-larangan”. Saya Cuma bisa ngerespon dengan kata “oh…”. “Menurut kamu ?”, tanya kamu lagi. “Terserah”, jawab saya singkat. Saya memang manusia ‘terserah’ untuk urusan yang saya anggap biasa saja. Kalau menurut kamu saya sudah tidak asik lagi seperti dulu, have it your way. Saya tahu kamu ingin kepuasan malam itu, maka kubiarkan kau menang. Merasa menang. Apapun untuk mengakhiri obrolan itu dan melanjutkan menikmati jalan raya didepanku yang punya banyak kenangan di masa kecil itu. Tapi harus kuakui, malam itu saya pulang dengan satu pertanyaan kecil di kepala, teman. Gaya hidup teman yang mana yang sedang kamu contek, teman ?
All I’m saying is, jangan karena kita mengklaim diri memilih hidup dalam budaya perlawanan, semua hal yang katanya ‘stereotype’, kita lawan juga. Kalau bener-bener ngikutin kata hati, ok. Tapi kalau karena ikut-ikutan ? Terus kamu bilang orang-orang sekarang hampir semuanya krisis identitas ? Nggak apa-apa sih berbudaya melawan. Tapi kalau semua hal disapu rata untuk dilawan, akhirnya dalam hal-hal tertentu kita bakal nemuin diri kita melawan kata hati.
Lihat saja. Beberapa orang sudah tumbang. Dan ketika mereka akhirnya tiba di titik jenuh, yang biasanya ditamengi dengan kalimat “kompromi”, di titik inilah mereka biasanya merasa menang. Menang atas diri sendiri. Dan harus diakui, sadar atau tidak sadar, it feels hella good!
Tentang buku bersampul unik warna biru muda tadi, saya lupa judulnya sampai saya menemukannya berjejer rapi diantara koleksi buku adik saya ketika saya pulang liburan lagi 6 bulan setelahnya. Parasit Jalang. Karena malas membacanya atau takut terdoktrin atau mungkin lebih tepatnya takut kalau-kalau ide didalam diri berakar makin kuat, saya langsung saja ke bagian sinopsisnya, lagi. “Pernikahan adalah pasar…”. Hm, cukup synopsis aja ternyata.
I’d like to be a good mom, but am I ready to be a good wife ? Yang saya tahu, mulai saat ini saya harus mulai hati-hati ngobrol sama adik saya. She’s not the same Barbie doll that I used to play with as the object of my rebellious actions anymore. I sure do wanna be a good sister. In my own defenition of course.
We are all foolish.
Disatu malam luar biasa, saya ngobrol dengan seorang teman. Katanya matanya perih kalau menatap komputer. Kalau bukan ngantuk, pasti minusnya nambah. Kata saya enteng.
Saya sedang senang karena kerjaan saya malam tadi sukses berat. Tapi semestinya saya tahu, kesenangan sebesar apapun tidak akan bertahan lama.
Membaca tulisan harian seseorang membuat saya tiba-tiba ingin menangis. Kata temen saya, “jangan sekarang, nanti semua orang akan melihat”. Tapi apa saya pernah peduli tentang orang lain ? Tidak.
Ah, saya hiperbolis. Saya cuman sedang sedih tiba-tiba saja. Soalnya saya seketika tersadar bahwa orang yang saya sayang selama ini, sayang sama orang lain. Menimbang saya juga tidak pernah betul-betul tahu apa yang ada dikepalanya. Atau mungkin kesedihannya makin menjadi begitu saya disaat yang bersamaan ingat bahwa ada orang lain yang sayang sama saya tapi tidak saya pedulikan sama sekali. Atau, kemungkinan yang paling parah… saya sedih karena saya sedang mengasihani diri karena tidak bisa lagi menterjemahkan apa mau hati saya. Hahaha, hati. Kapan ya terakhir kali saya berbicara tentang yang satu ini ? Sudah terlalu lama sampai saya sendiripun lupa.
Saya pikir teman saya tadi akan tertawa. Eiits, ternyata tidak. Malah dia bilang kasus saya mirip banget dengan kasusnya. Bahkan, pernah terlintas dikepalanya ide yang disebutnya bodoh, “aku jatuh cinta padanya”.
Hahahaha. Tidak ada yang namanya cinta, sayang. Yang ada hanya tingkatan berbeda dari merasa baik. You know, ada orang-orang yang membuat kita merasa baik dan ada juga orang yang membuat kita merasa lebih baik lagi. Merasa nyaman maksud saya.
Saya sedang senang karena kerjaan saya malam tadi sukses berat. Tapi semestinya saya tahu, kesenangan sebesar apapun tidak akan bertahan lama.
Membaca tulisan harian seseorang membuat saya tiba-tiba ingin menangis. Kata temen saya, “jangan sekarang, nanti semua orang akan melihat”. Tapi apa saya pernah peduli tentang orang lain ? Tidak.
Ah, saya hiperbolis. Saya cuman sedang sedih tiba-tiba saja. Soalnya saya seketika tersadar bahwa orang yang saya sayang selama ini, sayang sama orang lain. Menimbang saya juga tidak pernah betul-betul tahu apa yang ada dikepalanya. Atau mungkin kesedihannya makin menjadi begitu saya disaat yang bersamaan ingat bahwa ada orang lain yang sayang sama saya tapi tidak saya pedulikan sama sekali. Atau, kemungkinan yang paling parah… saya sedih karena saya sedang mengasihani diri karena tidak bisa lagi menterjemahkan apa mau hati saya. Hahaha, hati. Kapan ya terakhir kali saya berbicara tentang yang satu ini ? Sudah terlalu lama sampai saya sendiripun lupa.
Saya pikir teman saya tadi akan tertawa. Eiits, ternyata tidak. Malah dia bilang kasus saya mirip banget dengan kasusnya. Bahkan, pernah terlintas dikepalanya ide yang disebutnya bodoh, “aku jatuh cinta padanya”.
Hahahaha. Tidak ada yang namanya cinta, sayang. Yang ada hanya tingkatan berbeda dari merasa baik. You know, ada orang-orang yang membuat kita merasa baik dan ada juga orang yang membuat kita merasa lebih baik lagi. Merasa nyaman maksud saya.
“Makanya saya bilang itu ide bodoh”.
“Saya tidak bilang kalau itu ide bodoh koq :) Saya juga pernah diperbodoh dan memperbodoh diri. Saya rasa semua orang pernah".