So why don't we go somewhere only we know ?
Pernahkah aku bercerita tentang kebiasaan lamaku yang kata beberapa orang cukup aneh ? Aku (dulu) setiap kali membaca koran, pasti langsung ke kolom kematian. Aku membaca dengan seksama detail tentang orang yang masa hidupnya di dunia sudah kadaluarsa. Aku menyukai perasaan sedih. Bahkan waktu itu, aku adiksi pada kesedihan.
Kolom kematian tidak semenarik dulu lagi. Tapi berita kematian seorang teman hari ini, memukul aku tepat diantara paru-paru. Mulut kaku, kepala sebelah kiri migrain, mata tiba-tiba berair, dan tanpa sadar tetesan-tetesan air mataku sudah sampai ke kerah baju.
Orang-orang yang tadinya sering melucu sekarang terlihat seperti pelawak lanjut usia yang sudah kehilangan kemampuannya menghibur.
Bangsat ! Lirik "so why don't we go somewhere only we know", terdengar seperti soundtrack kondisi badanku sekarang yang ingin berada di Makassar. Juga soundtrack akhir sebuah cerita ?
Aan, teman yang tidak terlalu akrab tidak juga terlalu jauh, sudah sampai ke titik dimana semua titik dalam hidup akan berakhir. Aku cuman bisa berharap dari seberang pulau disini, kamu pergi ke tempat seperti apa yang kamu bayangkan selama ini. Pulau kecil dimana musik reggae selalu menggema dan ada ganja dimana-mana. Amin.
Aku rasa sekarang berkurang satu orang lagi yang menungguku pulang bersama janji mabokan.
So why don't we go somewhere only we know...
0 Comments:
Post a Comment
<< Home